Melupakan Indonesia Dari Halaman Rumah Kita

Ulasan Pertunjukan “Lima Pintu” Teater Alamat, Festival Teater Jakarta 2013.

Oleh Riyadhus Shalihin

Seng-seng rombeng, atap yang bocor dan gantungan baju yang bertengger di langit-langit rumah  menjadi puitisasi dari jakarta yang sedang mengambil jarak dari dirinya. Di mana antara jakarta dan mereka yang berada di dalamnya, dipertemukan oleh teka-teki, yang akan selalu menyelundup masuk ke dalam denyut kehidupan mereka, antara bertahan atau mati, antara lanjut atau berhenti, antara pasrah dan melawan, antara rumahku dan rumahmu, yang kini tidak lagi memiliki batas pintu.

Hiruk pikuk itu menjadi hangat dan dekat dengan diriku, ketika lighting mulai memperlihatkan keramaian di sebuah sudut kampung, di salah satu daerah di Kota Jakarta. Hiruk pikuk yang padat oleh pertumbuhan rumah-rumah sementara, kost-kostan yang kurang dipersiapkan keamanan dan fungsionalitasnya, dan hiruk pikuk dari mereka yang tumbuh dalam suasana seperti itu, melahirkan konflik dan percakapan-percakapan yang tidak tendensius, percakapan yang jauh dari dominasi besar politik, percakapan yang tidak mengikut sertakan wacana demokrasi, dan ideologi kebangsaan. Indonesia seperti tidak menyentuh mereka, Indonesia seperti ada di dalam diri mereka secara formal, melalui KTP, dan pencatatan rumah,namun pada saat yang bersamaan mereka bebas tumbuh tanpa Indonesia. Kehangatan dari sudut kecil Kota Jakarta itu hadir pada pementasan Teater Alamat, melalui pertunjukan “5 Pintu”, Karya/Sutradara Budi Yasin Misbach. Pementasan “5 Pintu” menjadi pertunjukan ke 2, dalam rangkaian besar acara Festival Teater Jakarta 2013, yang dipusatkan di sekitar area Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jl Cikini Raya No 73, Jakarta Pusat.

FOTO-FOTO: Mega Noviandari
Pintu Peristiwa Dari Kebudayaan Yang Bocor

Areal kost-kostan padat penduduk yang divisualkan dari pementasan ini, menyediakan sebuah ruang lalu lintas yang mengaburkan batas-batas demarkasi, antara hidupku dan hidup kita menjadi amat lekat dan lengket, oposisi mati dalam situasi seperti ini. Keadaan ini menghasilkan halaman bersama, situasi padat dari tumpang tindih rumah ini menghasilkan konsekuensi keberbagian yang tidak dapat terelakaan. Keberbagian yang meskipun dipaksakan namun harus dilakukan. Areal kost-kostan yang padat ini lalu dipersempit, menjadi wilayah yang menjelaskan kepada kita mengenai maksud dari judul pementasan. 5 Pintu menggambarkan masing-masing satu kebudayaan yang berada di belakangnya, pintu yang membuka sebuah sejarah dari dalamnya, otonomi dari indonesia yang terpartikulasi di belakangnya, dan pintu yang mampu membocorkan peristiwa, dari 5 pintu ini hadir teka-teki mengenai sebuah retakan-retakan dari konsekuensi berbagi halaman bersama-sama, yang bisa terjadi kapanpun, tanpa diundang, dan tanpa direncanakan. Artistik yang dibangun oleh Bym-Mendit ini, mendekatkan sekaligus membuat kita terduduk dalam posisi yang asing, ketika apa yang biasa kita saksikan sehari-hari ditempatkan di panggung, membuat kita melihat kembali diri kita, dari posisi di mana kita tidak lagi di sana, ketika kita berada di sini, namun kita juga asing, sebab kita yang ada di sana, tegang melihat kita duduk-duduk saja di sini, menertawakan kita sendiri, menangisi kita sendiri.

Dari awal kedua istri mereka tegas memarahi masing-masing suami mereka, istri dari pintu pertama yang dimainkan oleh Ratna Alfiani mewakili streotipe wanita muda jakarta yang baru saja menikah, dan hanya mampu menyewa rumah kecil di sudut kumuh kota jakarta. Sedangkan istri dari pintu ketiga dimainkan oleh Ayu Retno, membocorkan kelisanan dari budaya Tegal, yang bermigrasi di kota Jakarta. Serapah yang dilontarkan Ayu dan Ratna, mengontraskan antara dua kutub kelisanan yang menjadi warna dari sebuah konsekuensi keberbagian halaman. Pada babak-babak pertama kita melihat di mana wanita menjadi penguasa konstitusi, di mana “rumah temporer” yang mereka tempati diatur regulasi dan tata penghuni, di mana makan dan jatah bersetubuh ditentukan oleh para wanita. Namun hal ini menjadi biasa saja, sebab tema suami-suami yang takut istri sudah biasa diulas oleh sinetron-sinetron televisi, dan kekuasaan istri atas suami ini tidak dilakukan dengan penggeledahan hingga tuntas, kita tidak dapat melihat apa yang sebenarnya terjadi di balik pintu itu, sehingga investigasi atas peristiwa berakhir ketika pintu ditutup. Di antara pintu ke dua dan ketiga terdapat sebuah pintu yang ditinggali oleh seorang ibu tua ( Firda Risky Amalia ) yang memiliki 2 orang anak, yaitu Lela ( Laila M. Subagyo ) dan Nining ( Jenita Orat Mangun). Pintu yang didiami oleh Ibu Tua ini selalu menjadi bumbu permasalahan, sebab anaknya Lela menjadi pengundang birahi dari para suami-suami yang berada di samping rumah ibu tua, meskipun Lela sendiri tidak pernah memakai busana yang seronok ataupun mengundang.

Telinga kita dibuat untuk hadir di dalam rumah mereka, di mana kita mendengar apa yang ada di dalam dasar suara, dasar keberadaan mereka. didasari oleh naskah yang memang memberi suara kepada kelisanan dari masyarakat bawah Jakarta, menjadi awal yang baik, bahwa pementasan ini akan memberikan kepada kita suara-suara dari bahasa yang berasal dari diri mereka. Bahasa yang diucapkan oleh Ayu Retno yang memerankan Istri Pintu Tiga, mejembatani biografi hidupnya yang berasal dari tegal, dan telah melakukan pergesekan dengan realitas urban Jakarta, tubuhnya menyuplai bahasa yang berhamburan dari mulutnya, bagaimana bahasa khas tegal itu diimbuhi dengan business acting khas wanita Tegal, dimana dia jengkel, di mana dia cemburu, di mana dia kasmaran, semua bahasa yang terlontar tersingkronisasi dengan tubuh yang menjadi tulang punggung aktingnya. Namun hal ini tidak disadari oleh para pemeran suami ( Irsyad Berry & Reynald Jafferson ) mereka bergerak dengan plastisitas akting yang terbata-bata, kagok, tubuh mereka seakan bertengkar dengan bahasa yang sudah demikian lentur, tubuh mereka tidak berhasil mengatasi keragu-raguan gerak yang deras mengalir, yang juga terjadi pada tubuh Lela ( Laila M Subagyo ), di mana tangannya begitu kaku untuk hanya sekedar menyatakan kekesalan dan kemarahan, sementara itu bahasa tentang kekesalan dan kemarahan deras membuncah dari mulutnya, mulut dan tubuh seakan tidak bertemu di dalam panggung, mereka saling ingin menyatakan dirinya, bahasa mematikan kesederhanaan gerak dari tubuh seorang wanita yang depresif, ketika depresifitas mematikan gerak, meski bahasa telah menyediakan lubang-lubang eksperimentasi, namun tubuh Laila M Subagyo tetap saja beku dalam merespon teks.

Suara dari dasar bahasa, dan pengumuman untuk bangun.
Konflik ini bersandar dari kecemburuan, dan juga keinginan untuk memiliki apa yang tidak berhak kita miliki. Hasrat kita selalu menjadi hasrat yang diinginkan oleh yang lain. Hingga Tukang Kanyam ( Rangga A ) hadir sebagai sosok yang mengundang teka-teki, ketika pada akhirnya Lela terbunuh dan Tukang Kanyam, mengakui bahwa dirinya menyukai Lela semenjak awal, namun Lela yang sudah terlanjur memilih Pemuda ( M.Khadafi ) membuat dirinya gelap mata, hingga akhirnya dia memilih untuk memperkosa Lela di Pintu ke 5, dan mengakhiri nyawanya saat itu juga. Keadaan menjadi tiba-tiba eksplosif, sebuah loncatan dramatik yang amat tergesa-gesa berlangsung di detik-detik terakhir pertunjukan, seluruh warga yang dari awal lalu lalang tiba-tiba berhamburan ke luar dari sudut-sudut panggung, menyeruak memenuhi pusat pementasan, Warga dan Para Pedagang ( Warga Kampung Kali Deres, Kapuk, Semanan ) berteriak-teriak di pagi buta, memanggil pertolongan. Adegan ini bisa saja menjadi lebih tajam, jika sutradara melakukan pembiakan business acting, dan mengembangkan sedikit praduga pembunuhan, sebab jika tidak dilakukan seperti itu, kita menjadi was-was, bahwa pembunuhan dan pemerkosaan begitu mudahnya dilakukan, dengan hanya mematikan lampu rumah dan menyekapnya, lalu memperkosa dan membunuh, selesai dan begitu mudah. Klimaksyang diciptakan sutradara mengasingkan ketegangan dari pembunuhan itu sendiri, ketika seorang pembunuh yang mencintai korbannya membeberkan apa yang telah dilakukannya di dalam sebuah surat wasiat, lalu di manakah letak tragika yang ingin diposisikan oleh sutradara, ketika kekonyolan dari seorang pembunuh yang memberitahu identitas tentang dirinya, mengundang kita untuk terhenyak, bahwa pembunuhan yang dibalut dengan bumbu cemburu dan cinta menghasilkan kenaifan, kejauhan dari realitas buasnya Jakarta.

Kesederhanaan yang dibangun oleh sutradara sejak awal, dengan irama penyutradaraan yang rendah membuat kita nyaman untuk  merangkak dari satu inchi penyutradaan ke inchi lainnya, dari suara tokek, dari anak SMP yang setiap pagi melewati rumah mereka, dari suara adzan di setiap shubuh dan menjelang maghrib, dari suara dangdut dan orkes melayu, dari anak kecil yang lalu lalang menjelang sore, dari suara para pedagang remote, semua kesederhaan yang ditata dalam arsitektur kecil sebuah sudut Jakarta, terlanjur membuat kita nyaman untuk pulas di dalam pola dramatika yang mengalun dan lengang oleh tekanan dan kejutan, dan ketika kita tiba-tiba dihadirkan sebuah kenyataan matinya Lela, yang begitu saja dan begitu mudahnya. Maka kita seperti dibangunkan dari kepulasan, kita dihentak secara paksa, ketika kita baru saja hendak menggeliat dari tidur yang nyenyak, kita ditarik dan dibanjur oleh klimaks yang terburu-buru. Begitu cepat, begitu dingin. Memotong waktu yang sedang menyulam dirinya sendiri.  Sehingga apa yang ingin disampaikan oleh Sutradara menjadi bias dramatik, jika dia ingin meneguhkan sikap kelambanan untuk membuat kita lebih tenggelam pada senyata-nyatanya jakarta, maka dia harus setia pada mosi lambat itu, tidak bersitegang di akhir, ketidakkukuhan itu menggantungkan kita pada  sebuah kematian yang gamang, melankoli tidak, tragis pun tidak. Pengumuman kematian yang mengabarkan kerapuhan dirinya, kematian Lela yang didengungkan oleh adzan di ujung shubuh, ketika kita baru saja hendak mengambil posisi untuk tidur, bermimpi tentang apa yang baru saja dicelotehkan oleh Kota Jakarta. (SUMBER : mediateater.com)

Tidak ada komentar untuk "Melupakan Indonesia Dari Halaman Rumah Kita"